
Keterangan: Sesi FGD ‘Keterlibatan Keagamaan dan Lintas Iman untuk memitigasi dan Mengelola Risiko Lingkungan” di Ambon, 27 Februari 2025. (Foto oleh: Adit)
Ambon, 27 Februari 2025 – Krisis ekologis yang semakin akut dan menyebabkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat luas, mendesak aksi nyata dari berbagai lapisan masyarakat. Krisis ekologis akut ditandai dengan semakin masifnya bencana, terutama banjir dan longsor yang telah menyebabkan lebih dari 70 juta orang mengungsi. Angka ini terhitung sejak tahun 2000 – 2024. Selain itu, krisis iklim yang memicu kepunahan massal keanekaragaman hayati juga menjadi penanda bumi semakin sekarat. Pada titik ini, peran agama sangat penting untuk menjaga bumi keberlanjutan planet bumi.
Untuk mendukung target pembangunan rendah karbon pada tahun 2060, berbagai tokoh agama, akademisi, dan aktivis lingkungan di Maluku, berkumpul di Ambon pada 27 Februari 2024 untuk membahas pentingnya peran agama dalam menangani dampak buruk krisis iklim khususnya di Maluku. Maluku memiliki berbagai potensi sebagai daerah kepulauan, mulai dari pertambangan, kehutanan, pertanian dan perkebunan, kelautan dan perikanan, hingga pariwisata. Namun krisis iklim menjadi salah satu ancaman serius bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil.
Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, menegaskan bahwa pembangunan rendah karbon tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab universitas atau pemerintah daerah. Semua pihak, termasuk kelompok lintas agama, harus dilibatkan untuk mencapainya. “Tema green economy dan green environment harus menjadi bagian dari misi bersama. Terlebih dengan adanya pertemuan internasional COP28 di Dubai, yang kali pertama memperkenalkan pavilion faith-based. Peran agama dalam menyuarakan keadilan iklim sangatlah penting, bukan hanya untuk mengurangi dampaknya, tetapi juga menjaga hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar,” ujar Hening.

Keterangan foto: Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, memberikan pengantar FGD ‘Keterlibatan Keagamaan dan Lintas Iman untuk memitigasi dan Mengelola Risiko Lingkungan” di Ambon, 27 Februari 2025. (Foto oleh: Adit)
Krisis iklim telah membawa dampak signifikan pada kehidupan masyarakat, baik dari segi ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan. Contohnya, papar Hening, nelayan yang tidak dapat mencari ikan akibat panasnya suhu laut, atau petani yang gagal panen akibat banjir. Untuk itu, kelompok lintas agama perlu memperkuat kapasitas mereka melalui pelatihan atau informasi yang tepat mengenai perubahan iklim agar dapat menjadi garda terdepan dalam pengurangan dampak perubahan iklim.
Dr. Thaib Hunsow, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku, mengungkapkan pentingnya peran tokoh agama dalam menyampaikan isu lingkungan kepada masyarakat. “Tokoh agama memiliki tanggung jawab untuk menjaga alam sekaligus memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya kelestarian lingkungan. Di banyak masjid atau rumah ibadah, maupun majelis, mari terus kita sampaikan tentang bahaya sampah dan kerusakan alam, yang jika dibiarkan bisa membawa bencana bagi kita semua,” ajaknya.
Dr. Abdul Manaf Tubaka, Akademisi Sosiologi Agama dari IAIN Ambon, menekankan pentingnya literasi keagamaan yang mendalam tentang lingkungan. “Di Lembaga keagamaan, kita harus memahami bahwa krisis iklim berdampak besar pada kelangsungan hidup manusia. Ada kesenjangan dalam literasi keagamaan terkait isu ini, padahal kebijakan pemerintah sudah menyediakan ruang bagi partisipasi masyarakat. Kami berharap ini menjadi titik awal untuk kolaborasi yang lebih baik,” ungkap Dr. Manaf.
Pendeta John Victor Kainama, Kepala Biro Lingkungan Hidup dan Kebencanaan Gereja Protestan Maluku (GPM), menambahkan, “Gereja Protestan Maluku memahami bahwa tanggung jawab ekologis adalah bagian dari iman. Kami berkomitmen untuk bersama-sama pemerintah dan seluruh agama, denominasi gereja, serta unsur masyarakat lainnya untuk mengusahakan pelestarian lingkungan sebagai rumah bersama untuk seluruh makhluk.”
Lebih jauh, kata Pendeta John, GPM telah memiliki pedoman advokasi lingkungan hidup yang direalisasikan dalam agenda konkrit bersama seluruh lapisan masyarakat. “Kami melihat forum pertemuan hari ini sangat strategis untuk memperluas advokasi lingkungan hidup yang berbasis pada keadilan,” imbuhnya.
M. Yusuf Sangadji, Direktur Eksekutif Jala Ina (Jaga Laut Indonesia), mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, tetapi juga sekaligus rentan oleh dampak krisis iklim. Sebagai contoh, Provinsi Maluku memiliki Pulau Kecil sebanyak 1.292 pulau kecil, dan Provinsi Maluku Utara memiliki Pulau kecil sebanyak 863. “Dengan demikian, jumlah pulau di Kepulauan Maluku tercatat sebanyak 2.155 pulau. Wilayah kepulauan ini sangat rentan oleh krisis iklim,” ungkapnya.

Keterangan foto: M. Yusuf Sangadji, Direktur Eksekutif Jala Ina (Jaga Laut Indonesia) sebagai narasumber pemantik diskusi FGD ‘Keterlibatan Keagamaan dan Lintas Iman untuk memitigasi dan Mengelola Risiko Lingkungan” di Ambon, 27 Februari 2025. (Foto oleh: Adit)
Ia menekankan pentingnya wilayah kepulauan yang menjadi ciri khas Indonesia. Selain itu, Ia menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan perampasan ruang hidup.
“Hilangnya mata pencaharian dan peningkatan angka kemiskinan sering kali dikaitkan dengan investasi yang tidak ramah lingkungan dan hilangnya partisipasi warga. Kami perlu mendorong pemahaman ini dan kembali kepada sumber daya alam yang berkelanjutan,” kata Yusuf.
Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka Konsultasi tentang Kerja-kerja Advokasi dalam Keterlibatan Keagamaan dan Lintas Iman untuk memitigasi dan Mengelola Risiko Lingkungan, yang diselenggarkan Eco Bhinneka Muhammadiyah bersama GreenFaith dan Oxford Policy Management Limited (OPML), serta didukung oleh IAIN Ambon dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku.
Kegiatan FGD ini dihadiri oleh lebih dari 40 orang yang berasal dari organisasi berbasis keagamaan, akademisi, dan media. Kegiatan ini akan menjadi titik awal konsolidasi dan solidaritas lebih luas untuk mendorong penyelamatan di Maluku. (*)

Keterangan: Foto Bersama peserta FGD ‘Keterlibatan Keagamaan dan Lintas Iman untuk memitigasi dan Mengelola Risiko Lingkungan” di Ambon, 27 Februari 2025. (Foto oleh: Adit)
—
Tentang Eco Bhinneka Muhammadiyah
Muhammadiyah menginisiasi Eco Bhinneka untuk mendorong kerukunan umat beragama di Indonesia melalui pendekatan lingkungan. Pada tahun 2025, Eco Bhinneka Muhammadiyah dan Oxford Policy Management Limited (OPML) melaksanakan kegiatan konsultasi tentang kerja-kerja advokasi dalam keterlibatan keagamaan dan lintas iman untuk memitigasi dan mengelola risiko lingkungan di Sawahlunto (Sumatera Barat), Pekanbaru (Riau), dan Ambon (Maluku). Kegiatan ini bertujuan memperkuat peran agama dan lintas iman dalam mengelola risiko lingkungan dan perubahan iklim. Dalam kegiatan ini, Eco Bhinneka Muhammadiyah bekerja sama dengan GreenFaith Indonesia.
Tentang LCDI
Low Carbon Development Indonesia (LCDI) atau Pembangunan Rendah Karbon Indonesia merupakan platform pembangunan yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan yang beremisi Gas Rumah Kaca (GRK) rendah serta meminimalkan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA). Program ini mendorong pengembangan berkelanjutan yang mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Tentang GreenFaith Indonesia
GreenFaith adalah lembaga lintas iman yang berpusat di New York sejak 1992 dan kini telah berkembang di 11 negara. GreenFaith adalah gerakan yang mendorong kerja sama lintas agama untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Di Indonesia, GreenFaith berdiri sejak 2023 dengan fokus pada Faith for Climate Action, yaitu aksi nyata individu lintas agama dalam mengatasi dampak perubahan iklim, pelatihan lintas agama untuk climate justice, serta membangun perspektif lintas agama dalam transisi energi. Update kegiatan GreenFaith Indonesia dapat diikuti melalui Instagram @greenfaith.id.*