
Ilustrator by. Bagas Prasetyo (SMK Muhammadiyah 1 Genteng)
Upaya penyelamatan lingkungan yang sering digembar-gemborkan itu, perlukah? Mari kita coba membayangkan saat terjadinya sebuah bencana, di antara manusia dan alam siapakah yang sesungguhnya membutuhkan pertolongan untuk diselamatkan? Pohon yang hanyut saat banjir bandang tidak akan berteriak meminta tolong ke pohon yang tumbuh bertahun-tahun di sebelahnya. Serusak-rusaknya alam, alam tidak akan merasakan kerugian atau kebingungan. Siapa yang sebenarnya, yang akhirnya kebingungan ketika alamnya rusak? ya, manusia.
Alam memiliki kemampuan beradaptasi dari proses yang harus dia hadapi. Bagi alam, gempa bumi, gunung meletus, tsunami itu adalah siklus yang memang mereka alami. Namun belum tentu bagi manusia. Peristiwa gunung meletus secara keilmuan sudah dipaparkan siklusnya, bahwa gunung meletus itu tidak tiba-tiba meletus. Ada proses step by step yang menjadi alarm bagi sekitarnya bahwa gunung tersebut akan meletus. Dilansir dari berbagai sumber, gunung berapi yang akan meletus dapat diketahui melalui beberapa tanda, antara lain suhu di sekitar gunung naik, mata air menjadi kering, sering mengeluarkan suara gemuruh, kadang disertai getaran (gempa), tumbuhan di sekitar gunung layu, dan binatang di sekitar gunung bermigrasi. Sudah jelas alarm dari alam ini menjadi penanda permisi. Namun tidak ditangkap dengan baik oleh manusia di sekitar gunung sehingga saat gunung benar-benar meletus akan disibukkan mencari korban-korban bencana alam.
Maka memang yang perlu diselamatkan pada akhirnya adalah manusia itu sendiri. Manusialah yang memerlukan edukasi mitigasi dari sebuah kejadian di alam. Perlu dilakukan serangkaian upaya untuk mencegah risiko bencana dengan melakukan kesiapan, penyadaran, dan perencanaan penanggulangan bencana. Mitigasi dibuat karena letak geografis Indonesia yang rawan bencana alam. Jadi masyarakat harus melek informasi secara gerografis. Memilih rumah sebagai tempat tinggal bukan sekadar harga luas tanah per meternya murah atau areanya yang sangat strategis. Namun juga harus mengetahui informasi geografis di tempat tinggalnya. Sangat minim masyarakat yang memilih rumah dengan membaca dulu peta geografis bencana yang disediakan oleh BMKG misalnya. BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) memiliki peta yang kompleks, mengenai titik-titik rawan bencana. Misalnya di daerah yang ditinggali adalah area titik gempa bumi, tetapi masyarakat masih nekad untuk tinggal di sana. Atau sudah mendengar bahwa daerah yang akan ditinggali adalah daerah langganan banjir, tetapi masyarakat tetap tinggal di sana. Maka upaya terakhir adalah soal mitigasi bencana. Ini sangat penting karena sekali lagi yang butuh diselamatkan adalah manusia itu sendiri.
Penulis: Zahrotul Janah*
*) Fasilitator Daerah Eco Bhinneka yang tergabung dalam Anak Muda Eco Bhinneka Blambangan (Among)